Purbaya Tolak Tax Amnesty III, Sebut Banyak Kibuli Pajak

Purbaya Tolak Tax Amnesty

Kebijakan Pengampunan Pajak Dinilai Berisiko Rusak Moral Pajak Nasional

bermudamall.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan penolakannya terhadap rencana Tax Amnesty Jilid III yang mulai dibahas di parlemen pada akhir 2024. Menurutnya, pelaksanaan program pengampunan pajak secara berulang hanya akan melemahkan moral dan kepatuhan wajib pajak.

“Secara filosofi kalau tax amnesty dilakukan setiap beberapa tahun, pesan yang diterima pembayar pajak adalah ‘kibulin saja pajakmu, toh nanti diputihkan lagi,’” ujar Purbaya dalam keterangannya, Minggu (12/10/2025).

Ia menilai, kebijakan yang memberi pengampunan berulang justru menumbuhkan mental spekulatif di kalangan wajib pajak. Para pelaku ekonomi bisa menunda kewajiban pajaknya dengan harapan akan ada “pemaafan” berikutnya.

Baca Juga : “Listrik Padam di Bandara Ngurah Rai, 74 Penerbangan Kacau

Dampak Negatif Pengampunan Pajak Berulang terhadap Sistem Fiskal

Purbaya menyoroti bahwa pengampunan pajak berkala dapat mengirimkan sinyal buruk terhadap kredibilitas sistem fiskal. Menurutnya, tax amnesty seharusnya bersifat extraordinary measure, bukan program rutin yang dijalankan secara periodik.

“Jika dilakukan berulang, itu akan merusak integritas sistem pajak kita. Orang jadi tidak percaya bahwa pemerintah tegas terhadap pelanggaran,” kata dia.

Sebagai gantinya, ia mendorong pemerintah memperkuat penegakan hukum dan pengawasan pajak agar tidak ada lagi ruang bagi pelanggaran. Kebijakan yang konsisten akan menumbuhkan rasa adil di antara pembayar pajak yang selama ini patuh.

Purbaya Dorong Pemerintah Fokus pada Penegakan Hukum Pajak

Purbaya menyebut bahwa jalan terbaik untuk meningkatkan penerimaan pajak bukan dengan memberikan pengampunan, melainkan dengan memperbaiki mekanisme pengumpulan yang ada.

“Yang pas adalah jalankan program pajak yang benar. Kalau ada yang salah, ya dihukum. Jangan dimaafkan terus,” tegasnya.

Ia menilai, prinsip keadilan harus ditegakkan. Wajib pajak yang taat perlu mendapatkan perlakuan yang baik, sedangkan yang menyeleweng wajib dikenai sanksi. “Kalau sudah punya duit, ya belanjakan di dalam negeri. Tapi jangan jadikan tax amnesty sebagai alasan untuk lalai,” lanjutnya.

Rekam Jejak Program Tax Amnesty di Indonesia

Indonesia sudah dua kali menjalankan kebijakan pengampunan pajak. Tax Amnesty Jilid I berlangsung pada 2016–2017 di era Presiden Joko Widodo. Program ini diikuti 956.793 wajib pajak dengan total harta terungkap mencapai Rp4.854,63 triliun, menghasilkan uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun.

Selanjutnya, pemerintah melaksanakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari–30 Juni 2022. Program ini diikuti oleh 247.918 wajib pajak dengan nilai harta terungkap Rp594,82 triliun, dan total PPh sebesar Rp60,01 triliun berhasil dihimpun negara.

Meski berhasil secara nominal, efektivitas program tersebut tetap menjadi perdebatan. Banyak ekonom menilai bahwa tax amnesty berulang menciptakan moral hazard dan menurunkan disiplin fiskal jangka panjang.

Wacana RUU Tax Amnesty Kembali Mencuat di Parlemen

Isu Tax Amnesty Jilid III kembali mengemuka setelah DPR RI dan Pemerintah sepakat memasukkan RUU Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025.

Tujuan utama wacana ini adalah memperluas basis pajak dan menarik potensi penerimaan dari aset yang belum dilaporkan. Namun, banyak pihak menilai timing-nya tidak tepat mengingat situasi ekonomi global yang belum stabil.

Ekonom fiskal menilai bahwa kebijakan tersebut sebaiknya diiringi langkah reformasi administrasi dan digitalisasi pajak, bukan sekadar pemberian insentif pengampunan.

Tantangan Pemerintah dalam Menjaga Kepatuhan Pajak

Salah satu tantangan utama sistem perpajakan Indonesia adalah tingkat kepatuhan yang masih rendah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio kepatuhan formal wajib pajak baru mencapai sekitar 75 persen pada 2024, sedangkan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) masih di bawah 11 persen.

Dengan kondisi tersebut, Purbaya menegaskan bahwa memperkuat sistem pengawasan jauh lebih penting dibandingkan memberi kelonggaran berulang. “Kalau kita terus memberi amnesti, nanti orang menunggu kesempatan itu lagi, bukan memperbaiki pelaporan pajaknya,” katanya.

Pakar Nilai Pernyataan Purbaya Sejalan dengan Prinsip Fiskal Berkelanjutan

Pengamat pajak dari Universitas Indonesia, Sari Wulandari, menilai pernyataan Purbaya mencerminkan arah kebijakan fiskal yang berorientasi jangka panjang. Menurutnya, pengampunan pajak hanya efektif jika dilakukan sekali dalam satu generasi.

“Kalau dijadikan kebijakan rutin, itu sama saja memberi sinyal bahwa pelanggaran bisa ditebus kapan pun. Itu berbahaya bagi kredibilitas pemerintah,” jelasnya.

Ia menyarankan agar pemerintah memperkuat sistem pelaporan berbasis digital dan pertukaran data keuangan lintas negara (AEOI) sebagai solusi struktural yang lebih efektif.

Dorongan untuk Reformasi Pajak yang Lebih Transparan

Dalam konteks global, negara-negara maju kini lebih fokus pada transparansi dan keterbukaan data keuangan, bukan amnesti berulang. Indonesia, kata Purbaya, perlu mengarah ke arah yang sama dengan meningkatkan sistem digitalisasi dan pengawasan lintas lembaga.

“Kalau sistem sudah transparan, tidak perlu lagi pengampunan pajak. Yang jujur akan terlindungi, yang curang pasti ketahuan,” ujarnya.

Pemerintah juga didorong memperluas basis pajak dari sektor digital, UMKM, dan ekonomi kreatif tanpa menambah beban masyarakat berpenghasilan rendah.

Kesimpulan: Tax Amnesty Bukan Solusi Jangka Panjang

Sikap tegas Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menjadi penegasan bahwa pengampunan pajak tidak boleh dijadikan kebijakan berulang. Meskipun sempat memberikan tambahan penerimaan negara, efek jangka panjangnya bisa melemahkan kejujuran fiskal dan merusak moral ekonomi nasional.

Ke depan, fokus kebijakan perpajakan Indonesia perlu diarahkan pada penegakan hukum, digitalisasi sistem pajak, dan peningkatan transparansi data keuangan. Langkah ini diyakini akan menciptakan kepatuhan yang berkelanjutan tanpa harus mengulang siklus “pemaafan pajak” setiap beberapa tahun.

Baca Juga : “Penipuan Lewat ATM Bitcoin di AS Meningkat Tajam

More Articles & Posts